SEP Surabaya, Sentra Evangelisasi Pribadi

Renungan Kamis 25 Mei 2017, HARI RAYA KENAIKAN TUHAN

Bacaan: Kis 1:1-11, Mzm 47:2-3,6-7,8-9; Ef 1:17-23; Mat 28:16-20

Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. (Kis 1:9)

Peristiwa kenaikan Yesus ke surga dirayakan setelah 40 hari dari kebangkitan-Nya. Yesus sang firman yang berinkarnasi menjadi manusia yang telah hadir di tengah-tengah manusia dan telah kembali kepada Bapa-Nya di surga.

Heidegger, seorang filsuf, mengajarkan bahwa kematian itu bukan saat Tuhan mencabut nyawa kita. Kematian itu merupakan sebuah batas peziarahan, perjalanan menuju batas-batas kehidupan dunia dan kehidupan setelah kematian. Bahwa hidup manusia itu: Berjalan – Menjadi – Mencintai – yang artinya bahwa karena kematian kita menjadi sadar betapa bermaknanya hidup ini. Di lain pihak karena kehidupan manusia demikian indah dan bermakna maka terasa absurd jika keindahannya lenyap begitu saja dalam keterbatasan dan kerapuhan fisik manusia serta dalam kematian.

Dalam pemahaman kehidupan – kematian (in between) hidup manusia melukiskan kedua keindahan yakni keindahan hidup yang sudah tetapi juga belum berada dalam kepenuhan keindahan itu. Dengan demikian hidup manusia seperti sedang menuju kepada kepenuhannya serta penderitaan dan kematian adalah momen manusia menuju kepada kepenuhan itu.

Hidup itu sementara dan begitu singkat, tidak abadi, sehingga manusia haruslah mengelola hidupnya sebaik dan seindah mungkin. 

Teologi Kristiani merenungkan Tuhan yang mati dan telanjang sebagai peristiwa di mana manusia ditebus, diselamatkan serta diangkat dari dosa dan kematian. Namun penebusan itu memerlukan tanggapan dan komunikasi timbal balik dari manusia. Penebusan meminta manusia meninggalkan cara hidup lama yang sarat kekerasan. kemaksiatan, keberingasan, kemunafikan, korupsi, sikap intoleran atau sok mau menang sendiri.

Tuhan yang mati adalah Tuhan yang “Mahakuasa”. Sedemikian berkuasa Dia sampai-sampai tidak tinggal diam dalam keabadian. Tuhan yang mati adalah Tuhan yang “tunduk” pada cinta-Nya sendiri yang menyelamatkan, menghidupkan manusia.

Kematian-Nya menandai cinta-Nya yang tanpa syarat dan tanpa “barter” apapun dengan manusia. Sebuah cinta yang telak dan tuntas.

Penderitaan dan kematian seperti yang dialami Yesus adalah realitas hidup manusia sehari-hari. Tetapi di dalamnya juga tersembul misteri keilahian. Penderitaan dan kematian adalah momen misteri di mana manusia sedang menjalankan ketaatan cinta sehabis-habisnya kepada kodratnya, kepada panggilannya dan kepada Allahnya. Sesudah momen misteri itu cintaku sudah habis. Penderitaan dan kematian manusia memiliki pula kebenaran dimensi persembahan yang tuntas dari apa yang bisa diberikan kepada Dia yang dicintai.

Dengan demikian dalam Penderitaan dan Kematian, manusua BERJALAN – MENJADI – MENGGAPAI kepenuhannya dalam pelukan Sang Cinta itu sendiri. Menyongsong pelukan itu merupakan momen menggetarkan, tetapi saat sampai dalam pelukan-Nya kita dipersatukan dengan Sang Cinta.

Peringatan pengangkatan Tuhan ke surga setelah 40 hari kebangkitan-Nya adalah peristiwa Yesus naik ke surga bersatu kembali dengan Allah Bapa Sang Cinta itu. Sang Cinta itu mempersiapkan tempat di surga bagi kita semua, menunggu kita yang sedang berziarah untuk bisa bersatu kembali dengan Allah dalam pelukan Sang Cinta yang memberikan hidup abadi dengan segala kepenuhannya.

Kita berjalan menuju Sang Cinta sambil meneladani dan mengamalkan apa saja yang sudah diajarkan dan dilakukan Yesus Sang Cinta kepada kita semua. Dengan demikian perayaan kenaikan Tuhan ke surga akan menggemakan kepada kita: “Yang ada bukan Aku lagi melainkan CINTA itu sendiri.”

Salam dan doa,
FX. Santoso Tanudjaja

Image result for god is gone up with a shout

×